Salah satu limbah yang dihasilkan PG dalam
proses pembuatan gula adalah blotong, limbah ini keluar dari proses dalam
bentuk padat mengandung air dan masih ber temperatur cukup tinggi < panas
>, berbentuk seperti tanah, sebenarnya adalah serat tebu yang bercampur
kotoran yang dipisahkan dari nira. Komposisi blotong terdiri dari sabut, wax
dan fat kasar, protein kasar,gula, total abu,SiO2, CaO, P2O5 dan MgO. Komposisi
ini berbeda prosentasenya dari satu PG dengan PG lainnya, bergantung pada pola
produksi dan
asal tebu.
Selama ini pemanfaatan blotong umumnya adalah sebagai pupuk organik, dibeberapa
PG daur ulang blotong menjadi pupuk yang kemudian digunakan untuk produksi tebu
di wilayah-wilayah tanam para petani tebu. Proses penggunaan pupuk organik ini
tidak rumit, setelah dijemur selama beberapa minggu / bulan untuk diaerasi di
tempat terbuka, dimaksudkan untuk mengurangi temperatur dan kandungan Nitrogen
yang berlebihan. Dengan tetap menggunakan pupuk anorganik sebagai starter, maka
penggunaan pupuk organik blotong ini masih bisa diterima oleh masyarakat. Pada
perkembangan selanjutnya, upaya pemanfaatan blotong sebagai pengganti kayu
bakar mulai dilirik setelah kampanye penggunaan energi alternaif didengungkan.
Pemanfaatan blotong sebagai kayu bakar, sebenarnya sudah lama dijalankan oleh
masyarakat di sekitar PG, hal ini diawali dari pengalaman mereka setelah
melihat bahwa blotong bisa terbakar, dan timbulah pemikiran untuk memanfaatkan
blotong sebagai pengganti kayu bakar dengan cara menghilangkan kadar air yang
terkandung didalamnya.\ untuk memudahkan dalam penggunaanya sebagai kayu bakar,
mereka mencetak dalam ukuran yang mudah diangkut dan sesuai dengan ukuran mulut
kompor didapur mereka,
Proses pembuatan blotong pengganti kayu bakar sangat sederhana, limbah blotong
dari pabrik yang masih panas, diangkut dengan dump truk menuju lokasi
pengrajin/pembuat blotong kayu bakar, blotong ini kemudian dijemur di terik
matahari selama 2 - 3 minggu dengan intensitas matahari penuh. Sebelum total
kering, lapisan blotong ini dipadatkan dengan tujuan untuk mempersempit pori dan membuang sisa
kandungan air, kemudian dipotong seukuran batu bata untuk memudahkan
pengangkutan. Setelah dirasa cukup kering pada satu permukaan, bata blothong
ini dibalik, supaya sisi lainnya juga kering. Hasil yang diperoleh dari proses
ini adalah blothong seukuran batu bata yang bobotnya ringan karena kandungan
airnya sudah hilang.
Penggunaan, untuk keperluan memasak di kompor tanah mereka, blothong kering
tersebut masih harus dipotong menjadi ukuran yang lebih kecil menyesuaikan
lubang pemasukan kompor.
Dari data yang sudah kami peroleh, untuk satu rit blothong dilokasi radius
sampai dengan 5 km dari PG, pengrajin dikenakan ongkos Rp. 25 -30 ribu, untu
jarak yang lebih jauh dibicarakan dengan pengelola pembuangan blothong PG
tersebut. Dari satu rit blothong tersebut, setelah diolah dan kering, kemudian
dipindahkan ke dapur sebagai cadangan kayu bakar. Cadangan blothong / kayu
bakar ini cukup untuk memenuhi kebutuhan memasak sampai dengan musim giling
tahun depan.
Beberapa batasan dari proses pembuatan blothong /kayu bakar ini diantaranya
adalah : 1. Musim giling berlangsung satu tahun satu kali,. 2. Proses produksi
hanya bisa dilakukan pada saat musim kemarau 3. Belum semua PG memanfaatkan
blothong / kayu bakar ini sebagai pengganti minyak tanah atau kayu bakar,
disebabkan oleh proses pembuatan Gula antara satu PG dengan lainnya relatif
berbeda.
Atas dasar batasan terakhir, maka menjadi tanggung jawab pemerintah melalui PG
di seluruh Indonesia
untuk bisa memberi peluang kepada masyarakat untuk membuat blothong kayu bakar.
Sehingga masyarakat yang berpenghasilan rendah dapat terbantu dengan tidak
menggantungkan minyak tanah atau kayu bakar pada saat memasak. Itupun sebagai follow
up atas komitmen pemerintah dalam rangka kampanye program Alternative Energy
Concern,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar